“…Yang interesan, bagaimana bisa suatu tragedi bom bunuh diri menjadi cara tutur yang enteng, dangkal sekaligus seksi? Tampaknya ada lintasan makna yang bergerak melampaui tataran epistemologis atas fakta kekerasan. Hal ini berkaitan dengan pola hermeneutis populer vis-a-vis banalitas kekerasan….”
Petikan artikel “mari menertawai kekerasan” dari kompas.com
Kadang2 menarik juga kalau kita mencoba membaca artikel di website2 tertentu yang isinya sebagian edukatif. Tapi kalau kata-kata yang dipakai sudah melewati batas “cerna kosakata” sendiri? Nah, yang ada malah bingung dan kesel sendiri. Terus merenung sendiri di pojok kamar dan seketika sadar bahwa kita ini masih “katro” dan “ndeso” gara-gara nggak ngerti apa yang hendak disampaikan artikel tersebut. Setelah merenung akan timbul keinginan untuk meng-kambing hitam-kan orang lain. “ini murni salah penulis artikelnya nih yang banyak mengumbar kata-kata yang ngga user-friendly, yang kalau kita coba ucapkan ke orang lain pasti diiringi keringat dingin (takut malu kalau ejaan yang diucapkan salah)”.
Eits.. ga baik menyalahkan orang lain! Lebih baik introspeksi (ng.. bener ga ejaannya.. duh!) diri dahulu, baru kemudian mulai menyalahkan orang lain (eh.. tetep ga boleh, ding!). lebih baik kita saling belajar masalah bahasa supaya ga ada lagi miskomunikasi (ini sesuai EYD
Nih daptarnya :
Epistemologis, pola hermeneutis popular vis-à-vis banalitas kekerasan, gugatan genealogis, sikap omisif, tindakan dramaturgis, eksesif otomatis (ya2 ini baru dari satu artikel tadi aja)
Sebagai penutup gw kasi quote dari artikel itu yang walaupun gw ga ngerti artinya tapi kayanya asik didengar atau diperdengarkan ke orang lain (supaya dikira intelek).
Quote: ”Dan kita memang tidak perlu mencari tahu. Gugatan genealogis hanya relevan dalam wilayah akademis belaka!”